Dari jaman Majapahit, populer sebuah cerita tentang dua orang bersaudara yang menapaki jalan spiritual melalui cara berbeda. Mereka adalah Gagakaking dan Bubuksah.
Gagakaking percaya bahwa Kesempurnaan hanya bisa diraih dengan menjauhi dunia. Menyepi, laku pertapa. Gagakaking melihat dunia sebagai penghalang tujuan kamoksan. Ia pun menutup diri, menjauhi masyarakat yang dinilainya sedang tenggelam dalam kubangan dosa. Sebagian besar aktivitas keseharian adalah sebab musabab, atau dekat dengan dosa.
Gagakaking menjadi kaku, kurus. Namanya sendiri berarti ranting kering. Ia tambil lusuh, kotor untuk menunjukkan “penderitaan”-nya menjalani laku suci. Ia menyepi dalam kesendiriannya mencari sorga untuk dirinya sendiri.
Sementara saudaranya, Bubuksah, menempuh cara berbeda. Ia sibuk terlibat dalam berbagai upaya pemberdayaan masyarakatnya. Bubuksah hidup layaknya orang biasa, ditengah-tengah masyarakat biasa. Badannya gemuk, pakaiannya rapi. Bubukṣā sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti “ia yang selalu lapar”. Bisa lapar ingin makan, tapi dapat pula dimaknai lapar melakukan kebaikan. Bubuksah tidak pernah menutup diri. Ia belajar dan berbagai kepada siapa saja yang membutuhkan. Bubuksah terus berproses, tidak pernah berhenti.
Bertahun-tahun mereka melakukan “tapa” pendakian spiritual seperti itu, Batara Guru merasa kini saatnya menguji keduanya dengan mengutus Kalawijaya menyamar sebagai harimau kelaparan. Kebetulan saat itu sedang kemarau. Pertama, ia datang menemui Gagakaking minta makan. Gagakaking berkata ia tidak punya apa-apa. “Lihatlah badanku saja kurus begini.” Lalu kembali lelap dalam tapanya. Sang harimau pun pergi dan menemui Bubuksah.
Begitu didatangi harimau, Bubuksah langsung mengeluarkan berbagai makanan yg ada. Konon, ia bahkan menyerahkan dirinya sendiri untuk dimakan, jika perlu. Bubuksah memahami bahwa seluruh laku spiritualnya itu adalah untuk menyiapkan dirinya agar bisa melayani Dewata dengan melayani makhlukNya — Manava seva Madhava seva.
Setelah mendapat “jawaban” dari keduanya, sang harimau membuka samarannya. Kalawijaya kemudian berkata bahwa Bubuksah telah memahami inti kebajikan, dan meminta Bubuksah naik ke punggungnya. Kalawijaya juga membawa Gagakaking. Keduanya dinyatakan lulus dan layak masuk ke alam para suci. Jalan mana yang lebih baik, hanya Batara Guru yang mengetahui.
Gagakaking dan Bubuksah adalah kisah kita. Ia terjadi dari jaman ke jaman. Karena setiap orang memang memiliki perjalanan spiritual yang unik, sesuai perjalanan karma-nya, sesuai buku bacaannya, sesuai teman diskusinya, atau sesuai guru yang ditemuinya. Seorang guru spiritual berkata, bahkan untuk tertarik dengan ajaran-ajaran suci, tertarik mendatangi dan mendengarkan ajaran dari guru-guru suci, itu semua membutuhkan asupan karma. Bagaimana kita merespon sebuh peristiwa, juga tergantung “tabungan karma” yang ada di “saku kehidupan” kita.
Jadi, mari hormati pilihan (dan jalan karma) setiap orang. Hindu teramat luas, seluas samudra, untuk diklaim milik seorang diri. Ribuan sungai, danau, hujan, lelehan es, lebur didalamnya. Dan, sesungguhnya tidak ada alasan bagi seseorang untuk resah, melihat orang lain bahagia di jalan yang berbeda. Terlalu ribet mempermasalahkan jalan orang lain, malah lupa menyempurnakan jalan sendiri. Kesempatan hidup adalah untuk menyempurnakan karma sendiri, jalan spiritual sendiri, bukan mengganggu jalan karma dan pendakian spiritual orang lain.
Mari menanam karma baik. Sisanya, biarkan urusan sang Kalawija dan Batara Guru. Atau kalau menyangkut pelanggaran dunia, biarkan menjadi urusan penegak hukum. Hati2lah bila berurusan dengan jalan spiritual orang lain, jangan menjadi kayu bakar — ingin membakar yang lain, tak terasa menyisakan arang untuk diri sendiri.
Cibubur, 14 Agustus 2021
IK Budiasa
Sekjen Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia
Sumber: https://www.facebook.com/budi.sepang