Oleh : Nyoman Marpa
Bali diserbu oleh pedagang China? Tidaklah heran. Karena dalam urusan uang dan penghidupan, mereka adalah juaranya. Baik secara kelompok maupun individu. Uang dan penghidupan adalah Tuhan yang sebenarnya bagi mereka. Ke mana ada penghidupan, ke sanalah mereka pergi, istilah bahasa balinya, “where the money flows”.
Oleh karena membuka hubungan dengan “China”, sama halnya dengan membuka gerbang masuknya para “monster ekonomi”.
Jangan berharap banyak mengenai “tricle down effect” dari masuknya uang mereka, karena mereka memiliki hampir semua faktor ekonomi untuk mengeksekusi. Modal, bahan baku dan buruh murah, mereka adalah gudangnya. Apalagi yang bisa kita suplai?
“Begitu masuk ke satu kawasan, atau negara, mereka akan menguasainya, secara ekonomi tentunya. Karena itulah core competence mereka”, itu setidaknya kata CK Prahalad. Dan mereka akan kuasai, sampai kita benar-benar tergantung padanya.
Jangankan kita negara asia dan afrika, negara adidaya seperti Amerika saja dipecundangi, tonton saja film dokumenter, “THE CHINA HUSTLE”. Silahkan cari filmnya di “youtube”. Mereka sangat cerdas, terorganisir dan terlindungi. Saya tunjukkan film ini ke para pengusaha Indonesia keturunan China saja mereka merinding, apalagi kita. Amerika yang katanya penduduknya pintar-pintar dan lembaga ekononominya kita anggap super bagus saja dipecundangi, apalagi kita!
Oleh karenanya, jangan coba-coba buka gerbang masuknya, kalau kita tidak ingin seperti Srilangka, dan sebagian negara Afrika saat ini.
Mereka sangat terorganisir dalam masalah uang dan perut. Termasuk dalam menyerang ekonomi satu negara. Libya dan Timor Leste, contoh yang saya lihat langsung.
Pada saat ekonomi Libya awal tahun 2000-an. Negara ini dibanjiri oleh orang dari daratan China, hampir setengah dari penumpang dari setiap penerbangan yang saya naiki dari Dubai ke Tripoli saat itu, isinya adalah orang-orang dari daratan China, dari berbagai tingkatan, mulai dari buruh kasar, pedagang, pengusaha, sampai pejabat pemerintah. Pernah ada satu eksibisi dagang (semacam pameran dagang) yang diadakan di Tripoli, pemerintah Indonesia dan misi dagang kita, hanya menyewa ruang sekitar 30 m2, lalu berapa pemerintah china menyewa ruang eksibisi? hampir 10 hektar, itu hampir lebih dari separuh dari ruang pameran. Dipenuhi dari hampir semua produk kebutuhan hidup, mulai dari alat rumah tangga, otomotif sampai alat berat , dengan berbagai mereknya. Tidak hanya itu, 6 bulan berikutnya mereka mengadakan “all china product exibition”. Bukankah ini luar biasa?
Pada saat awal Timor Leste baru menjadi negara, lepas dari Indonesia. Saya berkesempatan beberapa kali kunjungan bisnis ke sana. Apa yang saya temui, saya nginap di hotel yang pelayannya hanya bisa berbahasa china, saya lihat ada gedung pemerintah dibangun atas bantuan pemerintah china. Tidak hanya itu, dari obrolan saya dengan penduduk dan pejabat di sana, para pedagang china sudah masuk sampai ke desa2, dengan barang dagangan super murah yang disuplai oleh cukong besar dari Daratan China yang membuka kantornya di Dilli.
Sangat terorganisir bukan? Pada saat orang-orang Timor Leste berpesta menikmati berbagai bantuan ekonomi dari negara-negara barat yang mendukung hasil referendum, orang-orang dari Daratan China menyerang sampai ke tulang sumsumnya, yakni ke desa-desa.
Pada saat, pemerintah Indonesia membuka hubungan dagang dan ekonomi dengan pihak china, saya berpikir apakah kita sudah siap? Meminjam dana dari Bank ICBC dengan jaminan saham bank-bank pemerintah untuk membangun infrastruktur misalnya. Memberikan proyek-proyek dibiayai oleh dana dari pedagang/investor China, apa kita sudah siap? Ini bukan hanya masalah ekonomi semata, tapi juga masalah sosial. Para buruh China yang datang ke satu negara, mungkin hanya separuh yang akan pulang, sisanya akan tinggal disini, berbagi kue dengan kita. Sialnya, urusan berbagi kue mereka adalah rajanya. Khadafi sewaktu negaranya diserbu oleh para buruh china, mengeluarkan peraturan, “khusus pendatang dari China, wajib pulang apabila proyek sudah selesai”. Apa artinya itu? Mereka saja tidak siap. Bagaimana dengan kita? Mereka sebagian sudah punya KTP sampai ke perkampungan di Sukabumi, dan sudah mulai bertani ini dan itu. Betapa rapuhnya pertahanan kita!
Urusan strategi mencari peruntungan saya bilang mereka jagonya di dunia. Bukan sekolah-sekolah bisnis di negara barat! Tapi orang China!
Saya dulu pernah bergaul dengan kumpulan mereka di Surabaya, satu kumpulan taipan saudara kita keturunan China yang menamakan kelompoknya “dengkul”. Mereka berisikan beberapa taipan besar Surabaya, tiap pagi mereka main ping-pong. Beruntung saya bisa masuk, karena saya dipercaya ikut mengelola dari bisnis salah satu dari kelompok mereka.
Satu saat, salah satu dari mereka bertanya, “apa the ultimate strategy persaingan bisnis yang saya ketahui”. Dengan spontan saya jawab “Sun Zu”. Karena itulah yang saya pahami saat itu. Mereka bilang, “Sun-Zu itu karena diajarkan di sekolah bisnis di Barat, sebenarnya itu belum 1 % dari yang dimiliki oleh orang-orang China”. Saya kemudian diberikan satu novel “Sam-Kok”, berikut satu serial video CD nya, 52 keping. “Baca dan tonton setiap episode, kita diskusikan per epidodenya setiap minggu katanya, Sam-Kok baru sebagian kecil referensi strategi kami” katanya. Masih banyak lainnya.
Sejak saat itu, saya mendalami setiap episode dan mendiskusikan setiap minggu dengan mereka, sampai 52 episode selesai. Sun-Zu tidak ada apa-apa nya dibanding Sam-Kok, dan Sam-Kok hanya sebagian kecil referensi mereka. Bisa diabayangkan, saya pikir negara barat tidak akan pernah menang dengan china dalam bersaing, baik secara individu maupun kelompok. Bagaimana dengan kita?
Dalam kasus penjual sovenir di Bali dan kartel pariwisata, mengurangi pergerakan mereka saya sangat setuju. Tapi kita harus punya jurus yang lain, selain marah dan ngamuk. Ingat mereka adalah “Monster Ekonomi Dunia”. Kita perlu strategi dan taktik yang lebih komprehensif dan tersistem dengan baik. Mengalahkan keturunan mereka yang sudah ada disini saja sulitnya bukan main, apalagi yang aslinya dari sono.
Bekasi dipagi hari, 17 November 2018