Ilustrasi Empathy

Empathy

Ketut Budiasa - Sekretaris Jenderal ICHI
Ketut Budiasa – Sekretaris Jenderal ICHI

Sebagai seorang praktisi HR, hal yang paling menyenangkan bagi saya adalah ketika menghitung bonus, mentransfer komisi, atau adjustment gaji. Pokoknya yang happy-happy.

Tapi tentu hidup tidak selalu indah dan mudah. Kadang saya juga harus menghadapi karyawan underperform, menerima curhat dengan kesedihan mendalam di sebuah sesi counseling, atau bahkan harus mengeksekusi pemutusan hubungan kerja.

Bila dalam kondisi pertama saya hanya perlu menggunakan hitung-hitungan matematis, yang kedua membutuhkan pendekatan jauh lebih kompleks. Dan sejauh ini, senjata utama saya hanya satu: empathy. Saya mencoba memahami dengan tulus kondisi mereka. Menyelam ke kehidupan mereka. Merasakan. Dan kemudian mencarikan solusi terbaik untuk kedua pihak: perusahaan di satu sisi, dan karyawan di sisi lain. Sejauh ini, saya hampir tidak ada konflik dengan karyawan atau mantan karyawan. Mereka yang saya PHK pun tetap menjadi teman baik. Karena mereka paham itulah pilihan (atau konsekwensi) terbaik dari kondisi yang ada.

Rumus empathy itu — dalam bahasa Weda “Tat Twam Asi” — tidak hanya berlaku di dunia professional, tapi di seluruh aspek kehidupan. Di lingkungan sosial, religius, dimanapun. Empathy, tat twam asi, golden rule intinya sama “perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan”. Atau “jangan perlakukan orang lain dengan cara yang kita sendiri tidak suka bila diperlakukan demikian”. Empathy ini adalah karunia Tuhan, yang cukup signifikan membedakan kita, manusia, dari mahluk lainnya.

Maka sebelum melakukan sesuatu kepada orang lain, atau kelompok lain — setidaksuka apapun kita pada mereka — cobalah renungkan dulu: apakah saya suka diperlakukan demikian. Karena dunia ini diatur oleh sebuah hukum kepastian, bahwa setiap tindakan akan ada akibatnya. Pun pilihan respon kita atas sebuah aksi akan menjadi karma baru buat kita. Apakah kita adil, atau sewenang-wenang. Karena roda hidup berputar, kadang diatas, kadang dibawah. Kadang mayoritas, di tempat lain minoritas. Kadang kuat, lain waktu lemah.

Terlepas dari hukum karma itu, bagi saya pribadi, memang tak ada yang lebih membahagiakan dari sikap empathy. Dengan itulah saya merasa menjadi manusia yang sesungguhnya. Empathy, serasa cocok dengan tuntunan spiritual saya.

Sumber: https://www.facebook.com/budi.sepang