Landak, secara “given” dilahirkan “berduri”. Bulu-bulunya begitu keras dan tajam hingga lebih menyerupai duri ketimbang bulu pada umumnya. Di lingkungan yang buas, bulu-bulunya yang tajam itu adalah pelindung sempurna. Bahkan raja hutanpun menyerah, tak bisa memangsa sang landak.
Tapi di sisi lain, bulu-bulu itu juga menjadi masalah bagi komunitas para landak. Mereka harus pandai-pandai mengatur jarak dengan sesamanya, dan harus pintar merapikan bulunya, agar mereka dapat berdekatan tanpa saling menyakiti. Masalah lebih besar timbul ketika musim dingin tiba, saat mereka perlu tinggal berdesakan agar tubuh mereka tetap hangat, agar mereka dapat tetap bertahan hidup. Semakin liar bulu-bulu mereka, semakin mereka saling melukai.
Orang-orang Bali, konon sebagian adalah “pelarian” dari Jawa saat Majapahit runtuh dan orang-orang awam mulai berganti agama. Leluhur kita yang tidak mau terkonversi itu memilih menyingkir ke timur. Mereka yang mampu bertahan dalam situasi seperti itu, logikanya pastilah bukan orang-orang sembarangan. Mereka pastilah memiliki kemampuan dari sisi intelektual dan status sosial sehingga cukup percaya diri untuk melawan arus mainstream. Ibarat di alam bebas, mereka adalah sekumpulan landak. Mungkin mereka tidak mampu menyerang balik, tapi mereka memiliki “bulu pelindung”. Bulu itu dapat berupa kekuatan pikiran, kecerdasan, juga ego.
Tapi persis seperti landak-landak itu, “bulu pelindung” itu juga perlu ditata, dilatih, agar tidak berpotensi saling menyakiti. Kecerdasan kadang linier bertumpang tindih dengan ego. Bukankah kita sering mendengar, mereka yang memiliki jiwa seni tinggi konon cenderung susah diatur. Tapi sekali mereka menyadari dan mengatasi kelemahannya dan mau berkolaborasi, maka karya-karya seni yang indahpun mengalir.
Kini kita, para pratisentana landak, di “musim dingin” ini perlu banyak merenung, menata diri, merapikan “bulu-bulu” kita, agar kita dapat bergandengan, saling menguatkan, tanpa saling menyakiti. Tanpa kemampuan itu, “bulu-bulu” yang “given” ini justru akan membawa kita menuju kepunahan.
Shanti 🙏
Sumber: https://www.facebook.com/budi.sepang