Oleh: Tri Handoko Seto
Tsunami Selat Sunda 22 Desember begitu mengagetkan. Tanpa ada peringatan dini, tanpa ada gempa yang biasa mendahuluinya, tiba-tiba air laut naik dan menghantam apa saja dan siapa saja yang ada di pantai sekitar Selat Sunda. Otoritas negara dan para ahli saling menyampaikan hipotesa. Ada yang menyebut karena gelombang pasang, tapi terbantahkan. Meteotsunami juga segera dimentahkan karena kondisi yang tidak memungkinkan terjadinya meteotsunami saat itu. Erupsi Anak Krakatau juga menyisakan tanya, karena letusannya cukup kecil dan sudah terjadi ratusan kali tetapi baru kali ini mengakibatkan tsunami. Dengan dasar ilmu pengetahuan, hipotesa paling masuk akal saat ini adalah karena longsoran Anak Krakatau 64 hektare yang terjadi akibat erupsinya sendiri. Lebih dari 400 jiwa melayang dan ribuan lannya yang terdampak.
Sebagaimana setiap terjadi bencana di negeri yang relegius ini, banyak berkembang spekulasi tentang tuhan yang marah. Tuhan yang menghukum umatnya karena telah menjauhi ajaranNya. Apa betul demikian? Bisa benar bisa salah, tergantung kita melihat pada ajaran tuhan yang mana?
Pertanyaan menarik, apakah meletusnya gunung Agung tahun 1954 juga karena manusia di Bali sudah mulai meninggalkan ajaran leluhurnya? Lebih jauh lagi, apakah meletusnya gunung Toba puluhan ribu tahun lalu yang mengakibatkan terbentuknya danau Toba juga karena manusia yang meninggalkan ajaran agama?
Gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami (bencana geologi) adalah konskuensi logis dan keniscayaan hukum Rta. Jagad raya diciptakan sedemikian sempurnanya sehingga ada tata surya yang nyaman menjadi tempat hidup manusia. Ada bumi yang kita tempati, ada matahari yang membuat bumi nyaman untuk kehidupan karena energi matahari membuat bumi memiliki segala persyaratan kehidupan seperti air, udara, dan segala zat yang terkandung baik di atmosfir, di permukaan bumi, hingga di perut bumi. Energi matahari yang diterima bumi mampu menggerakkan siklus hujan, dan menciptakan segala kebutuhan energi fosil (minyak dan batubara) juga energi panas bumi. Bumi kita terus berputar tanpa pernah berhenti sebagaimana Sang Hyang Widi juga tanpa pernah berhenti bersamadi. Inilah kehidupan.
Energi yang diterima bumi pada saatnya harus dikeluarkan untuk menjaga kesetimbangan semesta. Maka gunung meletus dan gempa bumi adalah pertanda bahwa bumi kita tetap hidup. Tentu ini berbeda dengan planet lain yang tidak pernah mengalami letusan gunung dan gampa bumi karena memang tidak ada kehidupan.
Maka jika bencana gempa bumi dan gunung meletus dikaitkan dengan ulah manusia yang meninggalkan ajaran agama bukanlah hal yang tepat. Namun demikian sebagaimana ajaran Rta dan Rna maka bencana gunung meletus dan gempa bumi bisa saja dikaitkan dengan kurangnya kita menjalani kewajiban. Kita yang telah dibekali akal budi dan pengetahuan masih kurang memanfaatkan apa yg telah tuhan, guru, dan orang tua berikan (Tri Rna) untuk belajar memahami tanda-tanda alam. Kurang menjaga harmoni Tri Hita Karana. Sudahkah para cerdik pandai membangun sistem peringatan dini bencana dengan baik? Sudahkan pemerintah menetapkan prosedur standar menghadapi bencana? Sudahkah masyarakat mematuhi peringatan dini yang ada? Atau justru merusak buoy tsunami? Sudahkan membangun gedung sesuai standar tahan gempa? Dan lain-lain.
Jika dikaitkan dengan ini maka kerugian akibat bencana yg terjadi memang akibat ulah manusia yg tidak menjalani ajaran agama dengan baik. Dalam arti tidak mengimplementasikan ajaran agama dalam kehidupan yang semakin modern. Karena tujuan agama kita bukan hanya moksa melainkan moksartam jagadhita ya caiti dharma. Bukan hanya memikirkan bekal setelah mati melainkan juga harus mensejahterakan kehidupan di dunia.
Kembali ke Gunung Anak Krakatau. Ibu dari gunung ini pernah meletus tahun 1883 dengan sangat dahsyat. Gunung Krakatau lenyap karena letusannya sendiri. Tsunami yang dihasilkan sangat mengerikan. Daya hacurnya puluhan kali lipat dari tsunami 22 Desember 2018.
Lalu apa kaitannya dengan ICHI?
Persoalan kehidupan bergama yang melingkupi semua aspek relegi, sosial, ekonomi, dan sebagainya terus bergulir. Jika tidak diselesaikan sedikit demi sedikit maka akan menjadi masalah besar yang bisa saja menghancurkan kehidupan. Bahkan dalam menyelesaikan persoalan sedikit demi sedkit itupun bisa saja membawa dampak yang tidak menyenangkan bagi banyak pihak. Tetapi kita harus yakin bahwa menyelesaikan persoalan secara bertahap tetap akan lebih baik daripada memendam persoalan yang pada akhirnya akan menghacurkan kehidupan yang jauh lebih parah.
Oleh karena itu, kepada segenap pengurus ICHI baik di pusat maupun regional, mari kita songsong tahun 2019 dengan semangat mengurai persoalan sedini mungkin meski bisa jadi akan menimbulkan gesekan dengan pihak-pihak tertentu. Kita harus terus bergerak dengan landasan keilmuan yang kuat. Hanya dengan ilmu lah kita bisa bersikap dan bertindak bijak. Sebagaimana ilmu mengurai persoalan Anak Karakatau.